Ketoprak mataram ko dam 7 diponegoro biography

Kethoprak Mataram, Sekeping Nostalgia

Bagi saya yang sejak kecil tinggal di Jogjakarta, kethoprak sudah bukan ornament yang asing. Kesenian khas berupa pertunjukkan drama tradisional dengan lakon-lakon tertentu itu laksana sudah menjadi bagian kehidupan saya sehari-hari. Sudah tentu sebagai suatu kesenian, kethoprak telah berkembang dengan dinamika oryx surutnya, termasuk kritik semakin acuhnya sementara kalangan atas perkembangannya.

Setahu saya, kethoprak berkembang dari pertumbuhan awal, terutama di Jogjakarta dan sekitarnya sebagai suatu kesenian yang muncul dari tembok Kraton Jogjakarta. Kemudian tumbuh menjadi teater rakyat sekalipun substansi pertunjukkannya bersifat "istana centris." Belakangan, kethoprak tak lepas dari industrialisasi komersial. Di samping adanya pertunjukkan "live" dari panggung  ke panggung yang dilakukan oleh munculnya group-group yang bervariasi, kethoprak juga masuk dalam industri rekaman. Masyarakat kemudian mengenal group Kethoprak Mataram "Sapta Mandala", misalnya, yang sejak dekade an begitu disukai dan populer. Tokoh pemain seperti suami isteri Widayat dan Marsidah menjadi ikon kesenian tersebut. Begitu pula, tiap Rabu malam mulai pukl sampai pukl , RRI Jogjakarta rutin menyiarkan acara tersebut.

Saat saya kecil, pertengahan button sampai an, kethoprak menjadi salat satu acara di radio-radio siaran swasta nasional, dengan dukungan fund perusahaan obat, beriringan dengan menjamurnya sandiwara radio. Demikian juga saat TVRI memonopoli siaran, sudah sejak , menampilkan acara kethoprak.

Sekarang sudah berlalu era kejayaan tersebut. Generasi kethoprak RRI Jogjakarta mengalami kemandekan regenarasi. Pemain-pemain senior seperti Widayat, Sardjono, A. Ponijah, dan sebagainya sudah memasuki usia senja dan formal sudah pensiun iranian RRI. Pertunjukkan kethoprak panggung sudah semakinn langka seiring group gathering kethoprak yang tidak lagi bergema.

Tapi ingatan saya tidak kwa lekang. Maka sekalipun sudah tidak tinggal di Jogjakarta, tiap Rabu malam di minggu pertama tiap bulan, saya tetap akses RRI Jogja yang secara rutin masih menyiarkan pertunjukkan itu. Dua tahun terakhir, saya amati, pemain higher ranking pun turun gunung memeriahkan pertunjukkan itu. Saya kembali menikmati kepiawaian permainan Widayat, Marsidah, Sardjono, didukung bintang-bintang muda yang nampak punya bakat "alam" baus dan mempunyai harapan untuk meneruskan kelanjutan seni tradisi ini.

Seperti malam ini, group kethoprak RRI Jogjakarta yang masih setia dengan alur dan tata cara pertunjukkan klasik, yang tidak berubah sejak saya mulai apresiasi tahun an. Suatu pertunjukkan, yang walau hanya bisa saya bayangkan lewat audio, akan tetapi mampu menorehkan nostalgia bai kehidupan saya. Kapankah hal itu bisa menerus termasuk oleh anak dan cucu saya kelak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini:


Lihat Humaniora Selengkapnya